JAKARTA - Industri tekstil dan garmen nasional tengah menghadapi tekanan besar akibat masuknya pakaian bekas impor dalam jumlah besar.
Untuk menghadapi kondisi ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa merencanakan pembatasan peredaran pakaian bekas impor di pasar domestik.
Langkah ini mendapatkan dukungan dari Konfederasi Serikat Pekerja Muslim Indonesia (Sarbumusi), yang menilai kebijakan tersebut penting untuk menghidupkan kembali sektor padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Presiden Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin, menyebut kebijakan ini sebagai “strategis dan telah lama ditunggu” oleh pelaku industri.
Menurutnya, pembatasan impor pakaian bekas tidak hanya memberi ruang bagi produsen lokal untuk berkembang, tetapi juga menjadi solusi untuk menekan angka PHK yang meningkat akibat tekanan pasar.
“Industri tekstil dan garmen kita sedang terpuruk. Banyak perusahaan harus melakukan PHK karena pasar dibanjiri pakaian bekas impor. Kami mengapresiasi langkah Menteri Purbaya yang berani melindungi produsen lokal,” ujar Irham.
Perlunya Penegakan Hukum dan Koordinasi Antarlembaga
Irham menekankan bahwa pembatasan impor harus disertai dengan penegakan hukum yang ketat. Masih maraknya praktik penyelundupan dan perdagangan ilegal yang memanfaatkan kode HS tidak akurat menjadi tantangan utama.
Koordinasi antara Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan menjadi kunci agar kebijakan dapat berjalan efektif.
“Bola sekarang ada di tangan Bea Cukai dan Barantin. Banyak laporan menunjukkan penyelundupan pakaian bekas lewat kode HS yang tidak akurat. Ini harus ditindak tegas,” tegasnya.
Selain itu, Irham menekankan pentingnya keselarasan kebijakan antar kementerian. Tanpa koordinasi yang baik, pembatasan impor pakaian jadi berpotensi tidak efektif dan meninggalkan celah hukum.
Sarbumusi menilai, jika kebijakan ini dijalankan secara konsisten, sektor tekstil dan garmen dapat kembali produktif dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Dukungan terhadap Target Pertumbuhan Ekonomi
Pembatasan impor pakaian bekas sejalan dengan target Menteri Keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Irham menekankan, pencapaian target tersebut bergantung pada kebangkitan industri padat karya.
Dengan kontrol impor yang efektif, industri tekstil domestik memiliki peluang untuk kembali produktif, mendukung pencapaian target pertumbuhan, sekaligus memperkuat fondasi ekonomi berbasis produksi dalam negeri.
Regulasi yang sedang disiapkan pemerintah juga bertujuan menertibkan perdagangan pakaian bekas yang marak di pasar daring maupun jalur informal. Pakaian bekas impor dianggap merugikan produsen lokal dan menimbulkan risiko kebersihan serta lingkungan.
Pembatasan diharapkan memberi efek positif jangka panjang bagi keberlanjutan industri tekstil nasional.
Tantangan dan Pengawasan Pelabuhan
Beberapa pengamat industri menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada koordinasi antarlembaga dan pengawasan di pelabuhan. Tanpa pengawasan yang kuat, celah perdagangan ilegal masih bisa dimanfaatkan.
Penegakan hukum dan pengawasan fiskal yang tegas harus berjalan paralel dengan kebijakan pembatasan impor agar dampaknya benar-benar terasa.
Selain itu, Irham menilai pentingnya penguatan sistem klasifikasi barang dan regulasi kepabeanan. Hal ini akan meminimalkan praktik salah klasifikasi barang impor yang selama ini menjadi salah satu penyebab maraknya pakaian bekas di pasar domestik.
Reindustrialisasi dan Investasi Sektor Tekstil
Pembatasan impor tidak hanya melindungi produsen lokal, tetapi juga mendorong investasi di sektor tekstil dan garmen. Dengan industri yang lebih kompetitif dan sehat, perusahaan lokal memiliki insentif untuk memperluas kapasitas produksi, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kualitas produk.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah membangun kembali sektor manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Irham juga mengusulkan program reindustrialisasi nasional yang lebih terstruktur, mendorong investasi, serta pemulihan sektor manufaktur seperti tekstil, garmen, dan alas kaki.
Menurutnya, keberhasilan strategi ini akan menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi industri padat karya, sekaligus membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi di atas 7% bukan sekadar target, melainkan bisa diwujudkan melalui kebijakan konkret.
“Kalau pemerintah mampu mengendalikan impor pakaian jadi, industri tekstil dalam negeri akan bangkit. Itu akan jadi bukti bahwa janji pertumbuhan 7% bisa diwujudkan,” kata Irham.
Harapan Pemulihan Industri dan Ekonomi Nasional
Dengan penerapan regulasi pembatasan impor pakaian bekas, pemerintah menegaskan komitmennya untuk memulihkan industri tekstil, mendukung sektor padat karya, dan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan produsen lokal.
Kebijakan ini bukan sekadar langkah fiskal, tetapi strategi jangka panjang untuk pembangunan ekonomi berbasis produksi dalam negeri.
Langkah tegas di sisi regulasi dan penegakan hukum diharapkan mampu menghidupkan kembali industri tekstil, meningkatkan daya saing produsen lokal, dan memperkuat rantai pasok domestik.
Jika berhasil, pembatasan impor pakaian bekas dapat menjadi momentum untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, dan membangun industri yang lebih tangguh.
Kebijakan Menteri Keuangan untuk membatasi impor pakaian bekas diharapkan menjadi titik balik bagi industri tekstil Indonesia.
Dengan dukungan pengawasan yang ketat, koordinasi antarlembaga yang efektif, dan investasi yang tepat, industri tekstil nasional memiliki peluang besar untuk kembali produktif, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.
 
                    
 
             
                   
                   
                   
                   
                   
                  