JAKARTA - Industri asuransi umum kini menghadapi tantangan besar terkait pemenuhan ekuitas minimum yang ditetapkan OJK.
Ketentuan tersebut mewajibkan setiap perusahaan asuransi memiliki ekuitas minimal Rp250 miliar paling lambat akhir 2026.
Menyikapi hal ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menegaskan pentingnya langkah strategis dan adaptif bagi seluruh perusahaan asuransi untuk memperkuat ketahanan permodalan sekaligus menjaga keberlanjutan industri.
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menjelaskan bahwa peningkatan ekuitas bukan hanya sekadar memenuhi regulasi, tetapi juga menjadi dasar bagi stabilitas keuangan dan kepercayaan publik terhadap sektor asuransi umum.
Oleh karena itu, menurutnya, perusahaan perlu mulai mengoptimalkan sejumlah strategi fundamental dalam memperkuat struktur keuangan mereka.
“Upaya yang bisa diterapkan perusahaan asuransi umum antara lain memperkuat kinerja underwriting, menerapkan efisiensi operasional, memperluas basis premi yang berkelanjutan, serta meningkatkan manajemen risiko,” ujar Budi.
Langkah Strategis dan Inovasi Organik
Menurut Budi, perusahaan tidak cukup hanya mengandalkan peningkatan premi semata. Untuk mencapai pertumbuhan ekuitas yang sehat, asuransi umum juga perlu menaruh perhatian pada inovasi dan pengelolaan internal yang berorientasi jangka panjang.
“Selain itu, inovasi produk, digitalisasi proses bisnis, dan penguatan tata kelola juga menjadi faktor kunci yang dapat mendorong profitabilitas dan memperkuat permodalan secara organik,” tambahnya.
Ia menilai, digitalisasi menjadi faktor pembeda di tengah kompetisi yang kian ketat, karena efisiensi operasional dan sistem manajemen berbasis teknologi dapat mengurangi beban biaya, mempercepat layanan, serta meningkatkan akurasi data keuangan.
Tantangan Struktural dalam Pemenuhan Ekuitas
Meskipun demikian, Budi tidak menutup mata terhadap berbagai hambatan yang masih dihadapi industri asuransi umum. Menurutnya, mayoritas perusahaan di sektor ini masih tergolong skala menengah dan kecil, dengan kapasitas permodalan yang terbatas.
“Pertumbuhan premi yang belum sebanding dengan peningkatan kebutuhan modal akibat regulasi dan eksposur risiko menjadi salah satu faktor utama yang menekan kemampuan permodalan perusahaan,” kata Budi.
Selain itu, akses terhadap sumber pendanaan baru juga menjadi tantangan tersendiri. Di tengah persaingan yang semakin ketat dalam sektor keuangan, banyak perusahaan asuransi umum mengalami kesulitan menjaring investor atau memperoleh suntikan modal baru.
“Ditambah, adanya keterbatasan akses terhadap sumber permodalan baru di tengah kompetisi sektor keuangan yang makin ketat,” lanjut Budi.
Kondisi Nyata Industri Asuransi Umum
AAUI mencatat bahwa hingga saat ini terdapat 19 perusahaan asuransi umum dari total 71 perusahaan yang diperkirakan belum mampu memenuhi ekuitas minimum sesuai batas waktu 2026. Kondisi tersebut mendorong AAUI untuk melakukan kajian mendalam bersama Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (LMUI).
Kajian itu menyoroti kondisi riil industri, termasuk struktur kepemilikan, dinamika pasar, serta kemampuan permodalan dari para anggotanya. Tujuannya, agar solusi yang diambil tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga bisa menjaga stabilitas jangka panjang sektor asuransi di Indonesia.
“AAUI bersama LMUI telah melakukan kajian komprehensif terhadap kondisi ekuitas industri asuransi umum,” jelas Budi.
Usulan Relaksasi kepada Regulator
Dari hasil kajian tersebut, AAUI akhirnya mengajukan usulan relaksasi kepada OJK berupa perpanjangan waktu pemenuhan ekuitas minimum hingga lima tahun ke depan.
Usulan ini, menurut Budi, bukan bertujuan untuk menunda kewajiban, melainkan untuk memberikan ruang penyesuaian yang realistis bagi perusahaan yang masih berproses memperkuat modalnya.
“AAUI telah menyampaikan usulan relaksasi berupa perpanjangan waktu pemenuhan ekuitas minimum selama lima tahun kepada regulator,” ungkapnya.
Ia berharap OJK dapat mempertimbangkan hasil kajian bersama LMUI tersebut agar kebijakan relaksasi bisa diterapkan tanpa mengganggu stabilitas industri maupun perlindungan kepada masyarakat.
Keseimbangan Antara Regulasi dan Ketahanan Industri
Menurut Budi, penegakan aturan ekuitas minimum memang penting untuk menjaga kesehatan industri asuransi. Namun, penerapannya juga perlu disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung distribusi layanan asuransi di daerah.
Dengan demikian, regulasi yang diterapkan diharapkan tetap seimbang antara kebutuhan prudensial (kehati-hatian keuangan) dan aspek keberlanjutan usaha.
“Dengan mempertimbangkan kondisi aktual industri dan kemampuan perusahaan dalam memperkuat modal, proses penguatan permodalan dapat tercapai tanpa mengganggu stabilitas industri serta keberlanjutan perlindungan kepada masyarakat,” tutur Budi.
Harapan terhadap Arah Industri
AAUI menilai tahun-tahun menjelang 2026 menjadi momentum penting bagi industri asuransi umum untuk bertransformasi. Dorongan digitalisasi, penguatan manajemen risiko, serta efisiensi bisnis akan menjadi faktor pembeda dalam menjaga daya tahan perusahaan di tengah perubahan regulasi.
Langkah kolaboratif antara regulator, asosiasi, dan pelaku industri diyakini mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan.
Budi menegaskan, peningkatan permodalan bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga wujud tanggung jawab industri dalam memastikan kepercayaan nasabah tetap terjaga.
Melalui sinergi antara pembenahan internal dan dukungan kebijakan yang adaptif, sektor asuransi umum diharapkan mampu memenuhi target ekuitas minimum sesuai ketentuan OJK tanpa menimbulkan gejolak.
AAUI optimistis bahwa dengan langkah strategis yang tepat, industri asuransi Indonesia akan semakin tangguh dan siap menghadapi tantangan masa depan.