JAKARTA - PT Pertamina (Persero) berkomitmen mengurangi ketergantungan impor minyak dengan memperkuat produksi dalam negeri.
Upaya ini dilakukan melalui transformasi menyeluruh di bidang tata kelola, budaya kerja, dan model bisnis demi menjaga kedaulatan energi nasional.
Langkah ini selaras dengan visi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang membawa Asta Cita dan menargetkan Generasi Emas Indonesia 2045.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyampaikan bahwa inti dari transformasi tersebut adalah meningkatkan kualitas layanan publik termasuk di stasiun‑pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan di sektor frontline serta membangun perusahaan yang transparan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan bangsa.
“Transformasi layanan publik adalah wajah nyata Pertamina yang setia pada rakyat dan merah putih, Pertamina berkomitmen transformasi pelayanan, meningkatkan standar kerja, dan menjadikan pesan masyarakat sebagai masukan berharga,” ujar Simon.
Simon menegaskan pula bahwa sebagai perusahaan BUMN energi, tugas utama Pertamina adalah memastikan ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi nasional. “Kami bukan hanya entitas bisnis yang mencari keuntungan, tetapi juga agent of development bagi pembangunan nasional,” katanya.
Transformasi Tiga Pilar Strategis
Simon memaparkan bahwa transformasi Pertamina berakar pada tiga bidang utama: Tata Kelola (Governance), Budaya Perusahaan (Culture), dan Model Bisnis (Business Model).
Pada aspek Tata Kelola, perusahaan menekankan proses yang lebih transparan, efisien, dan patuh (compliance). Budaya Perusahaan diarahkan untuk membangun mindset progresif dan adaptif, agar mampu menghadapi tantangan industri yang terus berubah. Sedangkan pada Model Bisnis, Pertamina menyesuaikan diri dengan dinamika energi global melalui inovasi dan diversifikasi usaha.
Dengan demikian, transformasi bukan sekedar perubahan bersifat kosmetik, melainkan sebuah restrukturisasi yang mendalam dan menyeluruh agar layanan publik dan kontribusi nasional dapat benar‑benar terwujud dalam praktik sehari‑hari.
Mendesak: Produksi Minyak Tumbuh Agar Tidak Impor
Salah satu tantangan paling mendesak yang dihadapi Pertamina adalah bagaimana meningkatkan produksi minyak di tengah kondisi sebagian besar lapangan migas domestik yang telah memasuki fase mature field.
Produksi migas nasional mengalami penurunan alami (natural decline) karena banyak sumur yang populasinya telah menua.
“Tantangan kita adalah bagaimana meningkatkan produksi agar tidak terlalu bergantung pada impor. Pemerintah melalui arahan Presiden Prabowo mendorong peningkatan produksi migas nasional. Pertamina mengambil langkah strategis dengan teknologi, intervensi sumur, serta eksplorasi baru untuk menemukan cadangan migas yang bisa menambah produksi nasional,” tutur Simon.
Sebagai bagian dari strategi ini, Pertamina menjalankan apa yang disebut “Dual Growth Strategy” yang terdiri dari memaksimalkan bisnis eksisting seperti peningkatan produksi hulu dan performa kilang, serta mengembangkan lini bisnis baru yang berorientasi masa depan dan ramah lingkungan.
Transisi Energi & Komitmen terhadap Keberlanjutan
Pertamina menyadari bahwa masa depan energi dunia adalah rendah karbon. Oleh karena itu, perusahaan juga fokus pada pengembangan bisnis yang lebih hijau termasuk panas bumi (geothermal), biofuel, dan bahan bakar ramah lingkungan seperti Pertamax Green 95 yang mengandung 5% etanol.
Hingga saat ini, Pertamina telah berhasil mengoperasikan kapasitas panas bumi sebesar 727 MW dari total kapasitas nasional 2,7 GW.
Selain itu, Pertamina mengambil langkah signifikan di sektor penerbangan dengan pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang berbahan baku minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
“Kami memandang SAF bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi solusi strategis untuk menggerakkan ekonomi sirkular. Indonesia memiliki potensi besar dari limbah minyak jelantah … dan Pertamina berkomitmen untuk memanfaatkannya menjadi energi bersih bernilai tinggi,” ujar Wisnu Medan Santoso, SVP Business Development Pertamina, pada forum SAF 2025 di Jakarta.
Produk SAF yang dikembangkan telah melewati uji coba penerbangan bersama Pelita Air Services Tbk dan menunjukkan performa yang sangat positif, tanpa modifikasi signifikan pada mesin pesawat.
Semua inisiatif tersebut berjalan seiring dengan penerapan prinsip Environmental, Social & Governance (ESG) dalam seluruh lini usaha dan operasi Pertamina sebagai wujud kontribusi pada Sustainable Development Goals (SDGs).
Waktu untuk Bertindak: Realitas, Bukan Sekadar Rencana
Penguatan kemampuan produksi migas, pembaruan tata kelola, budaya kerja yang adaptif, dan model bisnis inovatif semuanya adalah bagian dari akselerasi nyata untuk menjawab tantangan energi nasional.
Pertamina tidak hanya menyiapkan strategi, tetapi juga mengimplementasikannya sebagai bagian dari tanggung jawabnya kepada bangsa.
Dengan permintaan energi yang terus meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan untuk mencukupi kebutuhan akan menjadi sangat nyata. Namun, dalam tekanan itu juga terdapat kesempatan besar: bagi Pertamina untuk menjadi entitas yang lebih tangguh, relevan, dan berdaya saing global.
Transformasi yang dilakukan juga mencerminkan bahwa ketahanan energi nasional bukan sekadar frasa, tetapi sebuah misi operasional yang harus tercapai agar impor semakin menipis, agar produksi dalam negeri meningkat, agar masyarakat Indonesia mendapatkan layanan energi yang lebih baik, aman, terjangkau, dan berkelanjutan.
Kemandirian Energi sebagai Pilar Masa Depan
Dengan langkah‑langkah yang diambil, Pertamina menegaskan dirinya sebagai motor penggerak kemandirian energi nasional yang tidak hanya mengincar keuntungan, tetapi juga kepentingan rakyat dan bangsa.
Karena ketika perusahaan milik negara ini berhasil dalam transformasi, maka Indonesia semakin dekat dengan visi Generasi Emas 2045: dimana energi yang andal menjadi pondasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Transformasi tiga pilar, strategi produksi migas, bisnis rendah karbon, dan komitmen terhadap keberlanjutan; semuanya menunjukkan bahwa soal ketergantungan terhadap impor minyak bukan hanya tentang bisnis, tetapi tentang kedaulatan nasional.
Waktu tidak menunggu tindakan nyata yang dilakukan hari ini akan menentukan masa depan energi Indonesia.