JAKARTA – Pemerintah Jepang kembali mengumumkan angka penurunan populasi anak yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data terbaru yang dirilis, jumlah anak berusia di bawah 15 tahun di Jepang menurun hingga mencapai 13,66 juta jiwa, atau berkurang 350 ribu anak dibandingkan tahun sebelumnya. Ini adalah tahun ke-44 berturut-turut Jepang mencatat penurunan jumlah anak, dan menjadikan angka saat ini sebagai yang terendah sejak tahun 1950.
Penurunan drastis ini juga mencatatkan Jepang sebagai negara dengan rasio anak terendah kedua di antara 37 negara dengan populasi lebih dari 40 juta jiwa, menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jepang hanya sedikit lebih tinggi dari Korea Selatan yang mencatat rasio anak sebesar 10,6 persen.
Kelahiran Bayi Terendah Sepanjang Sejarah
Tren penurunan ini tidak datang tiba-tiba. Data dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang menunjukkan bahwa pada tahun 2024, hanya tercatat 720.998 kelahiran bayi di seluruh Jepang. Angka ini menurun lima persen dari tahun sebelumnya dan merupakan angka kelahiran terendah sejak statistik resmi pertama kali dicatat pada tahun 1899.
Anjloknya angka kelahiran ini secara langsung berkontribusi terhadap semakin sedikitnya jumlah anak-anak di Jepang, yang kini menjadi salah satu tantangan demografis terbesar yang dihadapi negara tersebut.
Inisiatif Pemerintah Belum Cukup Efektif
Pemerintah Jepang telah menyadari risiko besar dari penurunan populasi ini dan meluncurkan berbagai kebijakan untuk mengatasinya. Upaya-upaya tersebut mencakup pemberian bantuan keuangan tambahan bagi keluarga yang memiliki anak, perluasan layanan penitipan anak, serta penerapan sistem kerja fleksibel bagi para orang tua.
Namun, menurut pernyataan resmi, Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi mengakui bahwa inisiatif tersebut belum memberikan dampak signifikan.
“Kami yakin bahwa penurunan angka kelahiran belum dikendalikan secara efektif,” ujar Hayashi.
Kegagalan program-program tersebut dalam meningkatkan angka kelahiran menandakan perlunya pendekatan baru yang lebih komprehensif dan mungkin lebih berorientasi pada perubahan budaya kerja dan gaya hidup di Jepang, yang selama ini menjadi salah satu faktor penghambat keinginan masyarakat untuk memiliki anak.
Tekanan Sosial dan Ekonomi Jadi Kendala Utama
Beberapa analis menyebutkan bahwa faktor ekonomi, gaya hidup modern, serta tekanan sosial menjadi penyebab utama mengapa generasi muda Jepang enggan untuk menikah atau memiliki anak. Biaya hidup tinggi, kurangnya waktu luang, serta peran gender tradisional yang masih kental dalam rumah tangga Jepang turut menyulitkan pasangan muda untuk memulai keluarga.
Selain itu, urbanisasi dan karier yang menuntut juga membuat banyak perempuan Jepang menunda pernikahan atau memilih tidak memiliki anak. Meskipun pemerintah telah mencoba memberikan kemudahan melalui cuti melahirkan dan subsidi pendidikan anak, kebijakan ini masih dianggap belum cukup mengimbangi realitas kehidupan modern di Jepang.
Data Per Usia Menunjukkan Penurunan Merata
Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang juga merilis rincian data yang menunjukkan bahwa penurunan terjadi hampir di semua kelompok usia anak. Jumlah anak usia 0–4 tahun, misalnya, menurun lebih signifikan dibandingkan kelompok usia 10–14 tahun. Hal ini mencerminkan dampak langsung dari semakin sedikitnya bayi yang lahir setiap tahun.
Sementara itu, rasio anak terhadap total populasi Jepang kini berada pada titik paling rendah sepanjang sejarah, dan diperkirakan akan terus menurun jika tren ini tidak dibalik dalam waktu dekat.
Kekhawatiran Terhadap Masa Depan Ekonomi Jepang
Penurunan jumlah anak juga memunculkan kekhawatiran besar terhadap masa depan tenaga kerja dan sistem pensiun Jepang. Dengan semakin sedikitnya generasi muda yang akan masuk dunia kerja dalam beberapa dekade ke depan, beban ekonomi pada populasi lansia yang semakin besar akan menjadi masalah struktural serius bagi pemerintah.
Para ekonom menyebutkan bahwa Jepang perlu lebih agresif dalam mengatasi krisis demografi ini. Salah satu solusi jangka panjang yang dipertimbangkan adalah meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan mempercepat integrasi teknologi untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia.
Dengan jumlah populasi anak yang terus menurun, Jepang kini berada di persimpangan penting: memperkuat kembali struktur keluarga atau menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi jangka panjang yang lebih besar. Pemerintah pun didorong untuk mengambil langkah lebih radikal agar krisis ini tidak menjadi permanen.