Inovasi Panas Bumi PGE Dorong Ekonomi Hijau Berkelanjutan di Kamojang

Sabtu, 08 November 2025 | 13:30:20 WIB
Inovasi Panas Bumi PGE Dorong Ekonomi Hijau Berkelanjutan di Kamojang

JAKARTA - Uap putih yang terus mengepul dari pipa-pipa di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Kamojang, Jawa Barat, bukan hanya simbol kemajuan teknologi energi bersih. 

Di balik kepulan uap itu, tersimpan kisah transformasi sosial dan ekonomi yang digerakkan oleh energi panas bumi. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik, tetapi juga mengubahnya menjadi penggerak ekonomi lokal melalui inovasi yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

Melalui pendekatan berbasis pemberdayaan, PGE mengembangkan konsep pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. Salah satu inovasi andalannya adalah Geothermal Dry House, rumah pengering bertenaga panas bumi pertama di dunia, yang menjadi tonggak pemanfaatan energi hijau untuk sektor pertanian.

Geothermal Dry House: Transformasi Proses Produksi Kopi Lokal

Geothermal Dry House dikembangkan untuk membantu para petani mempercepat proses pengeringan biji kopi tanpa bergantung pada cuaca. Dengan memanfaatkan uap panas bumi dari PLTP Kamojang, proses pengeringan yang sebelumnya memakan waktu sebulan kini hanya membutuhkan sekitar 10 hari.

“Dengan menggunakan uap panas bumi, petani bisa mengeringkan biji kopi selama 24 jam,” ujar Aldin Gimnastiar, pengelola Geothermal Dry House.

Teknologi ini bukan hanya menghemat waktu, tetapi juga menjaga kualitas rasa kopi arabika yang ditanam di kawasan Gunung Kamojang. Aldin menjelaskan bahwa kopi yang dikeringkan menggunakan panas bumi memiliki cita rasa yang lebih bersih dan segar.

“Kalau geothermal after taste-nya itu lebih clean, lebih banyak ke fruity-fruity. Beda rasa sama yang konvensional, kalau dijemur di bawah matahari, terus ditutup, terus kena hujan. Yang ditutup jadi banyak ke fermentasi lagi, jadi lebih asam,” jelasnya.

Selain mempercepat proses produksi, metode pengeringan ini juga membantu petani menghindari risiko biji kopi menyerap kelembapan udara, terutama saat musim hujan. Dengan demikian, panas bumi bukan sekadar energi listrik melainkan solusi berkelanjutan bagi ketahanan ekonomi daerah.

Kopi Kamojang Menembus Pasar Asia dan Eropa

PGE menggandeng 18 kelompok tani di sekitar WKP Kamojang dengan luas lahan mencapai 80 hektar. Kolaborasi ini telah menghasilkan penjualan hingga 4,9 ton green beans, 640 kilogram roasted beans, dan 17.500 bungkus ground coffee sepanjang tahun 2024, dengan omzet mencapai Rp 863,9 juta.

Capaian tersebut tidak hanya menunjukkan keberhasilan inovasi energi panas bumi, tetapi juga membuktikan bahwa sinergi antara perusahaan dan masyarakat dapat menciptakan produk lokal bernilai ekspor. Kini, kopi hasil olahan petani Kamojang telah menembus pasar Asia dan Eropa, membawa nama daerah ke tingkat global.

Panas Bumi untuk Budi Daya Ikan di Pegunungan

Tak hanya untuk sektor pertanian, uap panas bumi juga dimanfaatkan oleh PGE untuk sektor perikanan. Di wilayah pegunungan bersuhu rendah, para peternak kini bisa mengembangbiakkan ikan mas dan nila dengan bantuan panas bumi dari PLTP Kamojang.

Salah satunya adalah Otang Maludin, seorang pembudi daya yang mengaku hasil panennya meningkat pesat sejak 2024.

“Kami coba dari yang ada unsur-unsur dari toko dan yang herbal, ternyata lebih bagus pertumbuhan ikan kalau pakai herbal. Jadi kami memanfaatkan dedaunan untuk pakan supaya enggak terlalu beli,” ungkap Otang.

Pakan ikan yang digunakan dibuat dari bahan-bahan alami seperti daun labu dan talas yang banyak ditemukan di sekitar area panas bumi. Proses pengeringan bahan pakan pun kembali memanfaatkan uap panas bumi menunjukkan betapa luasnya potensi energi hijau ini dalam berbagai aspek kehidupan.

Budaya Inovasi yang Terus Hidup di PGE

Menurut Pjs. General Manager PGE Area Kamojang, Hendrik K. Sinaga, budaya inovasi menjadi napas utama perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. PGE berupaya menggantikan berbagai proses pemanasan dengan uap panas bumi agar lebih ramah lingkungan.

“Dalam hal ini, kami punya kentang, punya anggrek, punya kopi, pupuk, dan termasuk fauna, dalam hal ini ikan. Kami juga terbatas secara sumber daya, jadi berjenjang, kami baru tingkatkan di tahun sekarang. Balik lagi, ini permintaan dari kendala di masyarakat,” ujar Hendrik.

Pendekatan tersebut tidak hanya bertujuan untuk efisiensi energi, tetapi juga untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat sekitar. PGE menjalin kerja sama erat dengan warga lokal yang berkomitmen menjaga kualitas produk secara berkelanjutan, serta berkolaborasi dengan akademisi dari berbagai universitas guna memperluas penelitian dan penerapan teknologi panas bumi.

Energi Bersih, Ekonomi Tumbuh

Program pemanfaatan panas bumi yang dijalankan PGE menjadi bukti bahwa transisi energi bersih dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Dari pengeringan kopi, budi daya ikan, hingga pengembangan pupuk dan tanaman hortikultura, semua diarahkan untuk menciptakan ekosistem produktif di sekitar area panas bumi.

Pendekatan ini mencerminkan model pembangunan hijau yang berkeadilan, di mana keberlanjutan lingkungan berjalan beriringan dengan kesejahteraan rakyat. Melalui energi panas bumi, masyarakat sekitar Kamojang kini bukan hanya menjadi saksi, tetapi juga bagian aktif dari transformasi menuju masa depan energi bersih Indonesia.

Terkini