JAKARTA - Popularitas camilan sehat seperti edamame kini membawa berkah tersendiri bagi para petani muda di Sukabumi.
Rasanya yang gurih dan manis membuat edamame menjadi primadona baru di restoran serta kafe modern.
Fenomena meningkatnya permintaan ini membuka peluang bisnis yang menjanjikan bagi sektor pertanian lokal. Tak hanya sebagai bahan pangan bergizi, edamame kini juga menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan.
Awal Perjalanan Kelompok Tani Langit Firdaus
Di Kabupaten Sukabumi, budidaya edamame telah tumbuh pesat di berbagai kecamatan. Salah satu kisah sukses datang dari Desa Undrus Binangun, Kecamatan Kadudampit, yang dikelola oleh Kelompok Tani Langit Firdaus.
Indra Risandi, petani muda berusia 27 tahun sekaligus perwakilan kelompok, mengungkapkan bahwa ide membudidayakan edamame muncul dari pengamatan terhadap pasar yang belum tergarap optimal.
“Kami melihat peluang pasar besar dan memulai budidaya sejak 2021,” ujarnya.
Awalnya, kelompok ini hanya menanam sekitar 10 kilogram bibit untuk dibagikan ke sesama petani. Melalui proses panjang dan kerja keras, hasil panen pertama mereka pun membawa harapan baru bagi komunitas petani muda.
Indra menuturkan bahwa kelompoknya berkomitmen agar tidak perlu lagi membeli bibit dari luar. “Kami berupaya agar hanya perlu membeli bibit sekali saja, kini bisa membudidayakan bibit mandiri dari hasil panen matang,” tambahnya.
Produktivitas Tinggi Lewat Sistem Tanam Klaster
Lahan seluas tiga hektare kini dialokasikan untuk budidaya edamame dan berbagai jenis sayuran lain. Dengan penerapan sistem tanam klaster, kelompok tani ini mampu memanen edamame secara rutin setiap dua minggu sekali.
Rata-rata hasil panen mereka berkisar antara 200 hingga 700 kilogram per periode. Meskipun siklus panen normalnya tiga bulan sekali, sistem tanam bergilir memungkinkan panen dilakukan lebih sering.
Indra mengungkapkan bahwa target mereka selanjutnya adalah mencapai panen setiap minggu. “Dengan pengelolaan yang lebih baik dan pembagian area tanam bergiliran, kami berharap frekuensi panen meningkat,” jelasnya.
Keunggulan lain dari budidaya mereka terletak pada lokasi lahan di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. “Ada perbedaan kualitas, bobotnya lebih besar, dan rasanya lebih manis di dataran tinggi,” ujar Indra.
Ia menambahkan bahwa kualitas tanah yang subur di wilayah pegunungan membuat hasil edamame lebih unggul. Menurutnya, hal ini menjadi pembeda produk lokal Sukabumi dibanding daerah lain.
Komitmen Penuh pada Pertanian Organik
Salah satu keunikan budidaya edamame oleh Kelompok Tani Langit Firdaus adalah komitmen mereka terhadap metode organik. Indra menegaskan bahwa seluruh proses penanaman hingga panen dilakukan tanpa bahan kimia.
“Semua proses budidaya, dari awal hingga akhir, menggunakan prosedur organik. Kami membuat kompos, POC (Pupuk Organik Cair), dan bahkan pengusir hama pun diracik dari bahan-bahan alami,” jelasnya.
Penerapan sistem organik ini tidak hanya menjaga kualitas hasil panen, tetapi juga kelestarian lingkungan. Petani mendapatkan keuntungan ganda, yaitu hasil lebih sehat dan tanah yang tetap subur untuk jangka panjang.
Budidaya edamame organik juga menarik perhatian generasi muda yang mulai tertarik pada pertanian berkelanjutan. Indra melihat bahwa pendekatan ini menjadi cara efektif membangun kesadaran baru di kalangan Gen Z tentang pentingnya menjaga bumi sambil berbisnis.
Melihat tingginya permintaan pasar namun pasokan yang masih terbatas, Indra pun mengajak generasi muda untuk terlibat dalam proses panen. “Tujuannya agar mereka menghargai perjalanan komoditas dari tanah hingga meja makan,” ujarnya.
Pasar Luas dan Inovasi Produk Turunan
Indra menjelaskan bahwa hasil panen edamame kelompoknya sudah menembus pasar lokal Sukabumi hingga kota lain seperti Bogor. “Harga jual stabil di Rp30.000 per kilogram, dan kami mampu menjaga suplai tetap lancar,” tuturnya.
Ia mengaku, kunci keberhasilan menjaga harga terletak pada pengaturan rantai pasok yang efisien. Dengan pengelolaan stok yang baik, harga edamame mereka tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi pasar maupun inflasi.
Secara kotor, kelompok tani ini bisa memperoleh omzet rata-rata hingga Rp15 juta per bulan dari budidaya edamame. Angka tersebut menjadi bukti bahwa sektor pertanian modern bisa memberi keuntungan nyata bagi petani muda.
Pasar edamame dinilai masih sangat terbuka, tidak hanya untuk konsumsi langsung tetapi juga olahan produk. “Edamame bisa diolah menjadi berbagai macam varian, misalnya garlic chili oil, dan varian ini laris di pasaran,” katanya.
Dengan inovasi tersebut, edamame tidak lagi sekadar direbus dan dijual mentah, tetapi diolah menjadi produk bernilai tambah. Produk-produk turunan seperti camilan kemasan dan bumbu siap saji mulai menarik minat pasar kuliner.
Indra menilai, potensi besar ini patut digarap lebih serius oleh generasi muda yang kreatif. “Ketika kita mampu mengolah, mengemas, dan menjual sendiri, dampaknya sangat positif bagi ekonomi lokal,” ucapnya.
Ia juga menyoroti peran media sosial dalam memperluas akses pasar bagi petani muda. Menurutnya, digitalisasi membuka peluang baru untuk promosi dan penjualan produk pertanian secara langsung ke konsumen.
Dengan semangat kolaborasi, kelompok tani ini membuktikan bahwa pertanian bukan hanya pekerjaan tradisional, tetapi bisa menjadi usaha modern yang menjanjikan. Keberhasilan mereka menjadi inspirasi bahwa bisnis pertanian dapat dikelola secara profesional dan berkelanjutan.
Kini, petani muda Sukabumi tak lagi dipandang sebelah mata, karena berhasil mengubah potensi lokal menjadi sumber ekonomi kreatif. Dari lahan tiga hektare di kaki Gunung Gede, semangat inovasi mereka terus tumbuh bersama tanaman edamame yang hijau dan menjanjikan.